Awal kisah aku mulai ketika aku lulus SMA. Hal ini berhubungan dengan kemana aku harus melanjutkan pendidikanku setelah lulus SMA. Sebenarnya dalam penentuan aku ingin melanjutkan pendidikanku kemana bukanlah hal yang sulit karena sejak kecil aku sudah bercita-cita untuk menjadi seorang guru SD atau kalau tidak menjadi seorang perawat. Kedua profesi itu memang sudah aku cita-citakan dari kecil. Karena aku melihat sosok seorang guru merupakan sosok yang paling berwibawa dan sangat berperan penting dalam hal pendidikan, apalagi seorang guru SD. Guru SD merupakan tonggak utama dalam bidang pendidikan. Bayangkan saja apabila tidak ada seorang guru SD, maka akan jadi apa kita sebagai generasi penerus bangsa. Guru SD lah yang mengajarkan pelajaran dasar pada kita semua. Mulai dari membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran dasar lainnya. Tidak akan ada seorang presiden, menteri, DPR, MPR, dokter dan orang-orang penting lainnya yang memiliki kedudukan tinggi. Semua profesi tersebut dapat muncul karena adanya seorang guru SD yang berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga menghasilkan generasi-generasi yang berprestasi dan berkompeten. Itulah sebabnya mengapa aku ingin sekali menjadi seorang guru SD. Sedangkan aku melihat sosok seorang perawat bagaikan penyelamat nyawa bagi semua orang. Apa jadinya seorang dokter ketika tidak ada seorang perawat yang membantunya dalam mengobati semua pasien yang ada. Seorang dokter tidak akan bisa melakukan semua itu sendirian. Dokter membutuhkan tenaga perawat untuk membantu pekerjaannya. Begitu juga alasanku mengapa aku ingin menjadi seorang perawat. Sebenarnya semua pekerjaan itu baik dan memiliki kelebihan sendiri-sendiri dalam bidangnya tapi kedua pekerjaan itulah yang aku pilih yakni menjadi seorang guru SD dan perawat.
Setelah lulus SMA aku sudah memiliki rencana akan melanjutkan ke salah satu universitas negeri di Surabaya yakni UNESA. Aku sudah mendaftar di UNESA yakni dengan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) melalui jalur PMDK. Untuk bisa masuk ke universitas ini tidaklah mudah apalagi dengan mengambil jurusan PGSD. Aku harus mengikuti berbagai tahapan-tahapan tes untuk bisa lolos dan bisa masuk ke jurusan PGSD. Selain harus mengikuti berbagai macam tahapan tes tersebut, aku juga harus bersaing dengan beribu-ribu siswa lainnya yang berasal dari berbagai sekolah yang juga mengambil jurusan PGSD. Pertama-tama aku harus mengikuti tes tulis yang kemudian disusul dengan tes wawancara. Alhamdulillah tes tulis sudah terlewati dengan mudah. Kini tibalah untuk tes wawancara. Serangkaian tes tersebut sudah aku lewati kini tinggal menunggu pengumuman. Beberapa minggu kemudian pengumuman tes PMDK pun diumumkan. Hatiku deg-degan menungggu pengumuman tersebut. MENGECEWAKAN!!!!!!, aku tidak lolos PMDK. Aku merasa sangat kecewa. Sesampainya di rumah kedua orang tuaku menanyakan hasil tes tersebut. Pada awalnya aku masih belum siap untuk memberitahukan pada kedua orang tuaku kalau aku tidak lolos dalam tes tersebut tapi aku harus tetap mengatakannya meskipun mengecewakan. Dengan kebesaran hati dan dengan mengumpulkan semua keberanianku, aku mulai mengatakan pada kedua orang tuaku bahwa aku tidak lolos PMDK. Aku takut orang tuaku akan marah dan kecewa kalau aku tidak lolos dalam tes tersebut tapi semua dugaanku itu salah. Kedua orang tuaku tidak sedikitpun merasa marah dan kecewa tapi sebaliknya ayah dan ibuku selalu memberi semangat dan dukungan padaku. Kedua orang tuaku selalu berpesan padaku agar tidak mudah putus asa dan selalu berusaha. Asal kita mau berusaha dan bekerja keras pasti Allah SWT akan memberikan kemudahan pada kita. Kita manusia hanya bisa berusaha, berdoa dan bertawakkal kepada-Nya. Apabila kita sudah berusaha semaksimal mungkin dan masih mengalami kegagalan, maka kita hanya bisa pasrah kepada Allah karena Allah lah yang menentukan yang penting kita mau berusaha. Semua pesan kedua orang tuaku itu selalu aku ingat dan aku jadikan pedoman hidupku.
Setelah gagal dalam PMDK di UNESA, aku tidak menyerah begitu saja. Aku tetap melangkah maju melanjutkan pendidikanku. Meskipun tidak diterima di peguruan tinggi negeri masih banyak juga perguruan tinggi lainnya yang kualitasnya juga tidak kalah bagusnya dengan perguruan tinggi negeri. Hingga pada akhirnya ibuku memberi saran padaku untuk melanjutkan ke Universitas Kanjuruhan Malang dengan mengambil program studi PGSD dan melanjutkan ke POLTEKKES (Politeknik Kesehatan) Surabaya dengan mengambil program studi Kesehatan Analis. Meskipun ibuku memberi dua pilihan tersebut, ibuku lebih cenderung dan lebih menyarankanku untuk melanjutkan ke POLTEKKES Surabaya dengan program studi Kesehatan Analis. Hal ini dikarenakan ibu memiliki anggapan bahwa dalam mencari pekerjaan, bidang kesehatan akan cenderung lebih mudah memberi peluang pekerjaan bila dibandingkan dengan bidang pendidikan. Ibu memiliki anggapan tersebut karena hal ini sudah terbukti pada kakak keduaku yang berprofesi sebagai seorang perawat. Kakakku tersebut langsung mendapatkan pekerjaan setelah menyelesaikan program D3 keperawatannya. Sedangkan pada kakak ketigaku yang berprofesi sebagai seorang guru, dalam mendapatkan pekerjaan tidak semudah seperti kakakku yang berprofesi sebagai seorang perawat. Dari hal itulah ibu lebih menganjurkanku untuk melanjutkan studiku ke POLTEKKES Surabaya sebagai seorang analis. Aku bimbang dengan kedua pilihan tersebut. Tapi karena dari kecil aku bercita-cita ingin menjadi seorang guru maka aku lebih mantap untuk melanjutkan ke Universitas Kanjuruhan Malang dengan mengambil program studi PGSD. Awalnya ibu menghargai keputusanku itu tapi dengan berat hati tentunya. Sedangkan ayahku menyerahkan semua keputusan kepadaku, karena ayah beranggapan akulah yang menjalani maka dari itu ayah hanya bisa mendukungku untuk melakukan yang terbaik. Aku bingung dan bimbang bagaimana caranya agar tidak mengecewakan ibuku. Hingga pada akhirnya aku mendaftarkan diri di keduanya yakni di Universitas Kanjuruhan Malang dan POLTEKKES Surabaya. Ibupun mendukungku. Setelah mendaftarkan diri di masing-masing Perguruan Tinggu tersebut, kini aku tinggal menghadapi serangkaian tes yang diadakan di kedua Perguruan Tinggi tersebut. Kebetulan pada saat itu, POLTEKKES Surabaya melaksanakan tes terlebih dahulu dibandingkan Universitas Kanjuruhan Malang. Aku mulai menjalani serangkaian tes tulis dan tes kesehatan di POLTEKKES Surabaya. Tes tulis yang dilaksanakan di POLTEKKES Surabaya sangatlah sulit sehingga aku merasa pesimis bisa lolos. Setelah menjalani serangkaian tes tersebut, tinggallah aku menunggu pengumuman. Pengumumam di POLTEKKES Surabaya akan diumumkan tepat bersamaan pada saat aku melakukan tes tulis di Universitas Kanjuruhan. Pada saat pelaksanaan tes tulis di Universitas Kanjuruhan Malang, pada saat itulah aku menunggu pengumuman dari POLTEKKES Surabaya. Hatiku dalam kebimbangan saat itu, aku harus konsentrasi dalam mengerjakan ujian tulis di Universitas Kanjuruhan juga harus menunggu pengumumam dari POLTEKKES Surabaya. Hatiku kacau dan kalut saat itu. Pikiranku tidak pada ujian tulis itu tetapi pada pengumuman. Hingga akhirnya ujian tulis pun berakhir dan aku keluar kelas dengan perasaan yang bercampur aduk. Saat itu ayah lah yang mengantar dan menungguiku. Dari jauh terlihat ekspresi wajah ayah yang kelihatan senang dan sambil tersenyum padaku. Aku masih merasa bingung waktu itu, kenapa ayah menatapku seperti itu. Ketika aku mulai mendekat pada ayah tiba-tiba beliau berkata, “Alhamdulillah kamu LOLOS, Dit!”. Aku masih merasa bingung sebenarnya ayah berkata apa. Kemudian dengan perasaan bingung dan penasaran aku bertanya pada ayah,”LOLOS???? Lolos dalam hal apa ayah? Aku bingung!!!!!”. “Ya kamu lolos tes di POLTEKKES Surabaya kemarin anakku!, ujar ayahku. “Apa????? aku lolos tes kemarin?”, aku terkejut seketika itu. Antara percaya dan tidak percaya. Aku merasa senang dan masih tidak percaya kalau aku bisa lolos dalam tes tersebut, karena aku merasa pesimis waktu mengerjakan soal-soal tes itu. “Dit!!!!!”, suara ayah mengagetkanku saat itu. “Kamu kenapa Dit?, sahut ayah. “Tidak apa-apa ayah. Aku hanya merasa terkejut dan tidak percaya kalau aku bisa lolos tes itu, karena pada saat mengerjakan soal-soal itu aku hanya menggunakan ilmu kebatinan, hahahahaha”, jawabku dengan tertawa. “Ya sudahlah Dit kamu harus bersyukur atas semua itu. Ayah merasa bangga kamu bisa lolos!”, jawab ayah. “Iya ayah, ALHAMDULILLAH. Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu sudah mengetahuinya?”, tanyaku. “Sudah! Lha ayah tahu berita ini kan dari ibu dan kakakmu di rumah. Tadi kakakmu menelepon ayah dan memberi tahu hal ini!”, kata ayah. “Jadi begitu! Alhamdulillah ya yah aku bisa lolos?”, kataku. “Iya Dit, Alhamdulillah. Ibumu di rumah tadi terdengar sangat bahagia dan bangga padamu”, sahut ayahku sambil tersenyum. “Lalu bagaimana dengan tesmu ini tadi? Lancarkah?”, ayah kembali bertanya. “Alhamdulillah ayah lancar meskipun tadi ada sedikit kesulitan tapi bisa aku atasi, hehehehehe!”, jawabku dengan tertawa. “Alhamdulillah kalau tadi kamu diberi kelancaran oleh Allah SWT. Ya sudah ayo kita pulang!”, kata ayah. “Ayo ayah, aku juga sudah lapar. Pusing tadi habis kerjakan soal-soal itu”, kataku sambil mengeluh. Kemudian kami berdua pulang.
Keesokan harinya aku di antar kakakku kembali ke Universitas Kanjuruhan untuk melihat dan menerima hasil pengumuman tes tulis kemarin. Kali ini ayah tidak bisa mengantarku karena harus bekerja. Apabila lolos dalam tes tulis, maka selanjutnya harus mengikuti tes kesehatan yang kemudian dilanjutkan dengan tes microteaching. Kami seluruh peserta tes dikumpulkan jadi satu di sebuah aula yang sangat besar. Disitulah kami akan menerima hasil tes berupa lembaran yang beramplop dan di lembaran itu berisikan apakah kita semua peserta tes bisa lolos atau tidak. Bagi peserta yang lolos tes tulis, maka pada saat itu pula kami semua peserta yang lolos akan menjalani tes kesehatan. Panitia yang bertugas memulai acara pembagian amplop yang berisikan hasil tes tulis itu. Hatiku mulai deg-degan dan aku pun mulai berkeringat karena gugup. Satu persatu peserta mulai menerima amplop tersebut. Lama aku menunggu giliranku untuk menerima amplop tersebut. Hingga akhirnya saat itu pun tiba. Aku menerima amplop putih itu. Dengan tangan yang bergetar dan berkeringat aku mulai membuka amplop itu. Aku takut melihat isi amplop itu. Dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada aku mulai mengambil kertas yang ada dalam amplop. Aku mulai melihat isi amplop itu dan aku merasa kaget dan terkejut ketika melihat sebuah tulisan “LULUS”. Aku merasa terharu, bahagia, senang, kaget dan semuanya lah. Perasaanku bercampur aduk. Aku menangis bahagia karena aku merasa senang bisa lolos tes itu. Tanpa henti-hentinya aku mengucap kata syukur kepada Allah SWT karena ridho Allah aku bisa berjuang sampai sini. Aku bisa lolos. “Akhirnya aku bisa menjadi seorang guru SD”, gumamku dalam hati. Tapi perjuanganku tidak hanya sampai sini, aku harus melakukan serangkaian tes lagi yakni tes kesehatan dan tes microteaching. Setelah mengetahui aku lolos dalam tes tulis itu, dengan segera aku memberitahu kakakku yang menungguku di luar aula. Betapa senangnya kakakku mendengar berita itu. Tanpa menunggu lama, kakak dengan segera memberitahu keluarga di rumah. Ayah, ibu, dan kakak-kakak di rumah ikut merasa senang dan bangga. Setelah mengetahui hasilnya, kami semua peserta yang lolos tes tulis kini harus mengikuti tes kesehatan. Kemudian kami semua melakukan serangkaian tes kesehatan. Kemudian untuk tes microteaching akan dilaksanakan 3 hari kemudian setelah pengumuman tes tulis dan tes kesehatan itu. Dari sinilah timbul sebuah masalah besar antara aku dan ibuku. Kelolosanku di kedua Perguruan Tinggi itu menjadi awal timbulnya masalah antara aku dan ibuku.
Setelah itu aku mendapatkan pengumuman kalau tes kesehatan di POLTEKKES Surabaya akan dilaksanakan tepat bersamaan dengan pelaksanaan tes microteaching di Universitas Kanjuruhan Malang. Apabila aku tidak mengikuti tes kesehatan tersebut maka aku akan dianggap gugur meskipun akau telah lolos tes tulis waktu itu. Aku mulai bingung, bagaimana bisa aku berada di dua tempat sekaligus sedangkan aku hanya seorang diri. Aku bingung dan pusing. Kemudian aku memusyawarahkan dengan kedua orang tuaku dan semua kakakku. Aku harus mengikuti dan memilih yang mana. Kemudian ayahku berkata,”Kalau ayah ya terserah yang menjalani, kalau Dita lebih mantap di PGSD ya ikut tes microteaching yang di Kanjuruhan saja tapi kalau mantap di kesehatan analis ya ikut tes kesehatan di POLTEKKES. Ayah terserah yang menjalani saja, nanti kalau dipaksakan hasilnya tidak akan maksimal. Nanti kamu menjalaninya tidak akan dengan sepenuh hati”. Ayahku bertanya, “Lha Dita lebih mantap yang mana lho?”. “Kalau Dita ya pengennya jadi guru soalnya kan cita-cita Dita dari dulu ingin menjadi sorang guru?”, jawabku dengan rasa penuh percaya diri. “Tapi Dita terserah sama ayah dan ibu saja, bagaimana baiknya. Tadi kan ayah sudah berpendapat, bagaimana dengan ibu?”, tanyaku kembali. Kemudian ibu menjawab, “Kalau ibu ya inginnya kamu di kesehatan saja. Seperti yang kamu ketahui juga, kalau di kesehatan itu lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Seperti kakakmu Yeti, kakak dengan cepat memperoleh pekerjaan setelah menyelesaikan D3 keperawatannya. Selain itu, gajinya juga lebih besar bila dibandingkan dengan guru. Itu pendapat ibu”. “Iya adek, kamu di kesehatan saja. Kamu sudah lihat sendiri kan sekarang kakak sudah bekerja?”, sahut kak Yeti, kakak keduaku yang menjadi seorang perawat. Aku hanya terdiam mendengar perkataan ibu dan kak Yeti. “Kalau kak Wulan lebih setuju dengan pendapat ayah. Lebih baik kalau kamu mengikuti kata hatimu. Kakak mendukung semua keputusanmu”, sahut kak Wulan, kakak ketigaku yang menjadi seorang guru. Perkataan kak Wulan kembali membangkitkan semangatku yang ingin menjadi seorang guru. “Tapi ini semua tergantung pada kamu Dita! Kita orang tua hanya bisa mendukung dan memberikan saran. Ya sudah kamu pikir-pikir lagi, kamu lebih nyaman dimana”, sambung ayahku. “Iya ayah!”, sahutku.
Beberapa hari sebelum semua tes yang dilaksanakan oleh kedua Perguruan Tinggi itu tiba, aku berpikir dan berpikir. Apa yang harus aku lakukan. Ibu ingin aku menjadi seorang analis sedangkan cita-citaku ingin menjadi seorang guru. Keinginan ibuku bertolak belakang dengan apa yang aku inginkan. Di sisi lain aku tidak mau membuat kecewa ibuku tapi di sisi lain aku ingin menentukan pilihanku sendiri yang sesuai dengan cita-citaku. Aku bingung, hingga pada akhirnya aku meminta petunjuk pada Allah SWT, mana yang harus aku pilih. Sehari sebelum pelaksanaan tes tiba, hatiku semakin mantap untuk melanjutkan pendidikanku untuk menjadi seorang guru. Setelah aku sudah benar-benar merasa mantap, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginannku kepada ayah dan ibu. Aku memulai pembicaraan dengan mengutarakan keinginanku ingin melanjutkan kemana. “Ayah dan Ibu, Dita ingin bicara sesuatu mengenai kemana Dita akan melanjutkan kuliah Dita”, ungkapku dengan agak gugup. “Silahkan Dita, memangnya kamu mau melanjutkan kemana?”, sahut ayahku. “Dita ingin melanjutkan kuliah ke Universitas Kanjuruhan saja ayah, karena Dita merasa lebih mantap dan ingin sekali menjadi seorang guru!”, jawabku. “Baiklah kalau itu memang keputusan Dita, ayah hanya bisa mendukung dan memberikan semangat sekaligus motivasi pada kamu agar kamu bisa melaksanakan keputusan yang kamu ambil dengan penuh tanggung jawab!”, kata ayahku. “Iya ayah! Terimakasih ayah sudah mendukung keputusan Dita”, sahutku kembali. Ketika itu, ibuku hanya terdiam mendengar percakapan antara aku dan ayah. Aku sama sekali tidak berani sedikitpun menatap wajah ibuku. Raut muka ibu langsung berubah ketika mendengar aku berkata kalau aku ingin menjadi seorang guru. Tapi demi mendapatkan restu ibu, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya pendapat ibu mengenai keputusanku itu meskipun aku sudah mengetahui apan jawaban ibu nantinya. “Bagaimana menurut ibu dengan keputusan Dita yang ingin melanjutkan ke Kanjuruhan saja?”, tanyaku. Lama ibu tidak menjawab pertanyaanku hingga akhirnya ibu berkata, “Ya sudah kalau itu memang keputusanmu. Ibu harus bagaimana lagi? Ibu sudah menganjurkan kamu untuk melanjutkan ke POLTEKKES saja tapi kamu bersikeras untuk melanjutkan ke Kanjuruhan. Padahal apa yang ibu katakana itu demi kebaikan kamu nantinya. Kalu kamu melanjutkan ke POLTEKKES pasti nantinya kehidupan kamu akan lebih baik. Dengan mudah kamu akan mendapatkan pekerjaan bila kamu melanjutkan kesana. Tapi ya terserah kamu saja, pokoknya ibu sudah memberi tahu dan menyarankan. Kalau kamu tidak mau mendengarkan dan melaksanakannya ya sudah!”, jawab ibuku dengan raut muka yang terlihat marah dan kecewa padaku. aku hanya terdiam membisu dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku takut melihat ibu marah sekaligus sedih, mengapa ibu tidak mendukungku seperti ayah yang menghargai dan mendukung keputusanku. “Ya sudahlah bu! Itu kan memang sudah keputusan Dita yang ingin menjadi seorang guru. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan memotivasinya agar dia lebih bersemangat lagi. Kalau kita memaksakan kehendak kita pada anak kita, pasti nanti hasilnya tidaka akan memuaskan bahkan mungkin akan menjadi buruk karena dia melakukan hal yanga tidak sesuai dengan keinginannya. Jadi ayah harap ibu bisa menghargai dan menerima keputusan Dita itu, ya bu?”, kata ayahku sambil membujuk ibu. Tapi perkataan ayah tidak bisa meluluhkan hati ibu yang menginginkan aku agar aku melanjutkan kuliahku di POLTEKKES. Tanpa berkata apapun, seketika itu ibu meninggalkan aku dan ayah. Aku sedih dan menangis waktu itu. Mengapa ibu begitu keras kepala dan tidak mau menerima dan mendukung keputusanku. Ayah mencoba untuk bersikap bijaksana. Beliau mencoba untuk menenangkanku juga ibu. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan ibuku juga memikirkan kalau besok paginya aku akan melaksanakan tes microteaching. Aku berusaha semaksimal mungkin mempersiapkan diri untuk tes itu. Supaya nantinya aku bisa lolos.
Saat tes microteaching pun tiba. Aku berangkat ke Malang di antar kak Wulan. Aku meminta doa restu pada ayah dan ibu agar nanti pada saat pelaksanaan tes microteaching aku diberi kemudahan dan bisa lolos. Ayah mendoakanku sebelum aku berangkat, tapi tidak dengan ibu. Ibu hanya diam melihat kepergianku ke Malang untuk mengikuti tes. Aku merasa sangat sedih melihat sikap ibuku itu. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus tetap semangat dan membuktikan pada kedua orang tuaku bahwa keputusan yang aku ambil ini dapat aku pertanggung jawabkan. Aku akan membuktikan pada ibuku bahwa aku bisa berhasil dan sukses. Meski tanpa restu ibu, aku tetap pergi dan mengikuti tes itu. Hingga akhirnya aku tiba di Malang dan mengikuti tes microteaching itu. Awalnya aku merasa tidak percaya diri, tapi karena semangat yang akau dapat dari ayah dan kak Wulan dengan mudah aku melewati tes microteching tersebut. Pengumuman tes akan diumumkan seminggu pelaksanaan tes. Setelah pelaksanaan tes tersebut, aku dan kakak pulang. Sikap ibu tetap dingin padaku. Aku mencoba untuk menyapa ibu tapi ibu tetap saja diam dan tidak menghiraukanku. Aku berusaha tetap sabar dan tabah menerima perlakuan ibu padaku. Lama-lama kesabaranku habis dan aku tak sanggup lagi membendung rasa sedihku itu. Hari-hariku kulalui dengan kesedihan. Tiap hari aku menangis. Berharap agar hati ibu bisa luluh dan mau memaafkanku. Tapi semuanya sia-sia saja. Ibu dengan keras hati tetap mendiamkanku tanpa berkomunikasi sedikitpun denganku. Entah itu bertanya padaku sudah makan apa belum atau apalah, tidak sama sekali. Baru kali ini aku melihat ibu semarah itu padaku. Tiap hari aku menangis tapi aku berusaha menyembunyikan rasa sedihku itu dari ayah dan kakak-kakakku seolah-olah tidak ada masalah. Tapi sepandai-pandainya bangkai disembunyikan tetap saja tercium baunya. Ketika itu aku menangis dan mengurung diri di kamar. Aku tidak sanggup lagi menerima perlakuan ibu yang selalu bersikap dingin padaku. pada saat itu ayah dan kak Wulan memergokiku menangis. Ayah tidak tega melihatku begitu terus. Hingga akhirnya ayah menegur ibu agar ibu tidak bersikap seperti itu padaku. Tapi apa yang terjadi, pertengkaran antara ayah dan ibu pun terjadi. Ayah berusaha membelaku sedangkan ibu tetap pada pendiriannya. Hatiku bertambah sedih melihat ayah dan ibu bertengkar seperti itu. Semuanya gara-gara aku. Aku menjadi lebuh merasa bersalah karena itu. Bukannya memperbaiki keadaan tapi malah menjadi semakin buruk. Kini, selain aku dan ibu yang berseteru, ayah juga ikut-ikutan berseteru dengan ibu.
Pengumuman microteaching pun telah diumumkan. Aku bergegas pergi ke Warnet (Warung Internet) karena pengumuman diumumkan secara on line. Aku diantar kak Wulan pergi ke Warnet. Dari rumah hatiku sudah deg-degan dan berpikiran yang macam-macam. Hingga pada akhirnya aku mulai on line dan melihat pengumuman itu. Betapa kagetnya aku. Namaku tercantum di tabel yang menyatakan aku “LOLOS”. Aku tertawa kegirangan, begitu juga dengan kak Wulan. Rasa bahagia itu sedikit membuatku lupa dengan masalahku dengan ibu. Setelah melihat pengumuman itu, aku dan kak wulan bergegas untuk pulang dan memberitahu pada ayah dan ibu bahwa aku LOLOS dan diterima sebagai salah satu mahasiswa PGSD di Universitas Kanjuruhan. Sesampainya di rumah aku memberitahu pada ayah dan ibuku. Ayah terlihat sangat senang dan bangga padaku karena aku telah lolos. Ibuku juga terlihat senang tapi ibu berusaha menyembunyikannya dariku. Aku tidak tahu mungkin ibu masih marah dan kecewa padaku.
Setelah aku dinyatakan lolos dalam pengumuman itu, aku dan ayah segera mencari sebuah kosan untuk aku tinggal nantinya selama aku menempuh pendidikan di Universitas Kanjuruhan Malang. Aku dan ayah berpamitan pada ibu untuk mencari sebuah kosan tapi sikap ibu tetap saja dingin dan cuek padaku. Kami pun berangkat ke Malang. Sesampainya di Malang aku dan ayah mencari sebuah kosan dan akhirnya dapatlah aku sebuah kosan yang lumayan bagus dan nyaman untuk ditinggali. Tempatnya juga sangat strategis. Kosanku itu terletak di Kepuh Gang 1A dan lumayan dekat juga dengan kampus. Setelah mendapatkan kosan, aku memberi kabar pada ibu. Tapi apa yang terjadi, ibu tidak begitu meresponku. Ibu seperti tidak mau tahu apa yang aku lakukan. Aku benar-benar sangat sedih mengapa sikap ibu tetap saja dingin padaku. Aku kira dengan aku diterima di Universitas Kanjuruhan Malang sikap ibu akan berubah padaku karena aku sudah membuktikan bahwa aku bisa.
Hampir beberapa bulan aku di rumah. Tidak ada hal yang bisa aku lakukan. Aku hanya menuggu pengumuman selanjutnya sambil menunggu dilakanakannya OSPEC sebagai salah satu syarat penerimaan Mahasiswa Baru. Aku tak menyangka dan tak menduga, sikap ibu sedikit demi sedikit mulai berubah dan kembali seperti dulu. Ibu sudah bisa menerima keputusanku dan mau memaafkanku. Ibu mau mendukungku dan ibu menyadari bahwa segala hal yang dipaksaka pasti hasilnya tidak akan maksimal. Keadaan keluargaku pun kembali normal. Tidak ada lagi konflik yang terjadi. Hingga saat ini ayah dan ibu selalu mendukung dan memberiku semangat. Oleh sebab itu, aku harus selalu berusaha untuk membanggakan kedua orang tuaku dan berusaha untuk tidak mengecewakan kedua orang tuaku. Aku harus bisa membuktikan kepada kedua orang tuaku terutama pada ibuku bahwa aku mampu dalam bidang ini dan aku mampu mempertanggung jawabakan atas semua tindakanku.
“Tentukanlah pilihanmu berdasarkan kata hatimu dan pertanggung jawabkanlah pilihanmu tersebut. Jangan mudah menyerah dengan segala sesuatu yang kamu anggap benar. Asal sesuatu itu bersifat positif dan kamu mampu untuk mempertanggung jawabkannya. Kamu harus tetap berusaha dan pantang menyerah dalam menggapai semua cita-citamu”.
TETAP SEMANGAT ^_^