Malam begitu dingin, sepi hiruk pikuk kendaraan di siang hari, kini lenyap seakan-akan ditelan bumi, hanya gerimis satu-satu yang sejak sore turun masih terdengar. Seketika itupun Aku teringat sesosok ibuku yang telah meninggalkanku lima tahun yang lalu. Aku merasa sedih ketika harus mengingat kejadian itu, dadaku seperti ditusuk seribu belati terasa sangat menyakitkan. Hari ini pun Aku mengalaminya untuk yang kedua kali, Ayahku yang selama ini telah menjadi pengganti sosok ibu bagiku telah mengorbankan nyawanya di tengah padang peperangan. Andai saja Aku bisa berkata “jangan” untuk melawan takdir agar tidak mengambil bayanganmu,candamu,apalagi untuk kepergianmu. Tapi apa dayaku, itu semua adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Dia jualah yang menentukan apa dan bagaimana nasib segala makhluk ciptaan-Nya, tak terkecuali diriku.
“Hijau” warna seragam itu lengkap dengan tanda jasanya, kini tinggallah kenangan bagiku. Semangat hidup terpancar dari warnanya seolah mengajakku untuk membela tanah airku sampai titik darah penghabisan. Dan siapapun yang mengenakannya pasti akan merasa bangga. Begitu juga dengan Ayahku, beliau terlihat sangat gagah dan perkasa.
Entah darimana awalnya, tiba-tiba terlintas dalam ingatanku sewaktu kuperlihatkan raport kenaikan kelasku pada Ayah.”Yah, lihat nih nilai raport,Dita,baguskan?,”Tanyaku sembari duduk didekatnya.”Wah, hebat betul sekarang putri Ayah.”Ujar Ayah dengan senyum dan belaian tangannya, Aku dipeluknya.”Apa cita-citamu?” tanya Ayah penuh penasaran. Dengan penuh percaya diri Aku menjawab,”Aku ingin menjadi KOWAD.” Itulah ucapanku mantap ketika ayah tanya cita-citaku setelah lulus SMA nanti. “Kepribadian yang tegar,kuat dan tabah,tapi terkandung kasih sayang yang tiada taranya untuk membela nusa dan bangsa serta keluarga”, jawabku tatkala Ayah bertanya mengapa memilih cita-citaku itu. Hidupku terasa hampa tanpa kehadiran kedua orangtuaku di sisiku.
“Dita, makan dulu,Nduk!” tepukkan lembut di bahuku mengejutkanku. “Bibi”, ujarku sembari tersenyum padanya. “Sudahlah,Nduk!yang pergi tidak usah ditangisi lagi. Kalau Ayah dan Ibu melihatmu begini,pasti mereka akan sangat sedih. Kamu tiadak boleh lemah, kamu harus menjadi perempuan yang kuat dan tegar. Apa kamu tidak ingat dengan janjimu dulu kepada Ayah? Kamu harus menepati janji itu,Nduk. Jangan sampai harapan itu sirna,Nduk!”,kata-kata Bibi mencoba menguatkanku. “Tapi,Bi?”, air mataku terurai. Kemudian bibi memelukku. Dalam dekapannya Aku berjanji akan menggapai cita-citaku demi kedua orangtuaku.
Hari, bulan, tahun telah berlalu. Tak terasa aku telah duduk di bangku kelas 3.Hal ini seakan memicu semangatku untuk mengejar cit-citaku menjadi seorang “KOWAD”. Seiring berjalannya waktu ujian akhir telah usai. Kini Aku tinggal menunggu hasil kerja kerasku selama 3 tahun.
“Dita, ada tamu, tuh” kata Bibi sambil membangunkanku. “Cakep”, ledeknya lagi. Kata-kata Bibi membuatku penasaran, sebenarnya siapa gerangan yang datang. Dan betapa terkejutnya Aku, setelah melihat seseorang berdiri memakai seragam lengkap seperti ayahku dulu. Aku sangat terkesima melihat kegagahan seorang pria itu. Seolah-olah Aku melihat bayangan Ayah didalam tubuhnya. “Sebenarnya siapa kakak ini?Apa saya mengenal kakak?”, tauyaku terpatah-patah karena gugup. Kemudian pria itu membalikkan badannya. Aku betambah gugup. “Kamu Dita kan?”, tanya pria itu. Dengan tersenyum kuulurkan tanganku yang di sambutnya segera. “Perkenalkan saya Fahmi Syaifudin Zuhri, Adik bisa memanggilku Fahmi atau Zuhri pokoknya terserah Adik saja.” Aku menjadi tambah bingung mengapa dia mengenalku. “Lho Dik, kok bengong? Saya tidak di suruh duduk?”, ucapnya mengagetkanku.”oh….oh…ya… silahkan duduk Kak Fahmi!” jawabku terkejut. “Nah,begitu donk?”, katanya sambil tersenyum.
“Sebenarnya saya adalah kakak Ida, teman sekelasmu atau katakanlah teman dekatmu. Yah, mungkin Saya membuat Adik Dita bingung. Tapi, bagi Saya Adik Dita sudah lama Saya kenal walaupun tanya lewat Ida. Jujur, Saya sangat mengagumimu, Dik!”, ujarnya. Aku tersipu malu setelah mendengar kata-kata Kak Fahmi. Tak di sangka Ida mempunyai seorang kakak AKBRI.
“Maaf, kalau Kakak membuat Adik bingung!”, ujarnya dengan wajah memelas. “Tidak…tidak apa-apa Kak.” Jawabku cepat. Lalu dia kembali menceritakan pengalamannya menjadi seorang AKABRI. Tiba-tiba, Kak Fahmi m,enawarkan Aku untuk menjadi seorang AKABRI. Sepertinya dia tahu kalau Aku juga ingin menjadi seorang AKABRI sepertinya. Bagai mendapat durian runtuh, Aku menerima tawarannya.
Hari-hari yang dulunya sangat me,mbosankan, kini menjadi lebih berwarna semenjak kedatangan Kak Fahmi. Tidak terasa hari pengumuman ujian akhir telah tiba. Aku dan Ida pergi ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan. Tanpa sadar, tepat pukul 13.45 Aku sampai di sekolah. 15 menit, sebelum pengumuman, debar jantungku seolah berhenti. Setelah mencoba tenang, hasilpun tiba. Betapa bahagianya Aku, berhasil dan memuaskan. Nilai ujiaku sangat baik begitu juga dengan Ida. Dengan perasaan bahagia, Aku pulang dan memberitahu Bibi. Bibi sangat senang sekali. “Ternyata tidak sia-sia usahamu selama ini,Nduk!”, Kata Bibi dengan bangga.
“Ting…tong….’’bunyi bel di depan rumah. Betapa bahagia dan terkejutnya Aku, Kak Fahmi datang dengan membawakan seikat mawar putih dan senyuman yang begitu manis. “Selamat, Dik!”katanya. “Terima kasih, Kak!”, ujarku pula. Setelah duduk dan berbincang-bincang, iapun pamit.
Waktu liburan panjang terasa begitu cepat karena Kak Fahmi selalu menemaniku. Sampai suatu hari, Kak Fahmi memberitehuku bahwa pendaftaran AKABRI telah dibuka. Aku dan Kak Fahmi mempersiapkan segala sesuatu yang di butuhkan.
Saat-saat test telah kulalui, meskipun banyak rintangan dan saingan yang Aku hadapi. Tetapi berkay doa dan dukungan dari orang-orang yang Aku cintai, Aku mampu melewatinya. Bibi, Kak Fahmi, dan Ida selalu mendukungku. Sampai akhirnya Aku di terima mnjadi seorang AKABRI.
Allah Maha Pengasih dan Pemurah, Allah telah mengabulkan semua doaku. “Cita-citaku telah tercapai Ayah!”, bisikku dalam hati. Dengan lambaian tangan dan linangan air mata dari orang-orang yang kukasihi, Aku meninggalkan mereka untuk mengejar cita-citaku. Dan Kak Fahmi akan selalu setia untuk menungguku kembali.
No Response to "Harapan Yang Tak Pernah Sirna"
Posting Komentar